Sabtu, 14 Mei 2016

Pemikiran Pendidikan Menurut KH. Abdur Rahman Wahid

BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI
Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September.
Gus Dur adalah putra pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Sholehah. Ayah Gus Dur termasuk seorang pahlawan Nasional dan pernah menjabat sebagai menteri Agama tahun 1949. Kakek dari pihak ayah ialah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sedangkan kakek dari pihak Ibu ialah K.H. Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan juga salah seorang tokoh pendiri NU.
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama kharismatik.
Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut.
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurrahman Wahid mulai menuntut ilmu :
a.       SD Jakarta 1947-1953.
b.      SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957.
c.       Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957.
d.      Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959.
e.       Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
f.       Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
g.      Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h.      Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
i.        Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j.        Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979.
k.      Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996.
Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kelebihan. Padanya terdapat bidang ilmu pengetahuan Islam dan juga keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.
B.     PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. ABDURRAHMAN WAHID
Dalam  masyarakat  ditemukan  berbagai  individu  atau  kelompok  yang  berasal dari  budaya  berbeda,  demikian  pula  dalam  pendidikan,  diversitas  tersebut  tidak  bisa dielakkan.  Diversitas  budaya  itu  bisa  ditemukan  di  kalangan  peserta  didik  maupun  para guru  yang  terlibat  -secara  langsung  atau  tidak-  dalam  satu  proses  pendidikan.  Diversitas itu  juga  bisa  ditemukan  melalui  pengkayaan  budaya-budaya  lain  yang  ada  dan berkembang  dalam  konstelasi  budaya,  lokal,  nasional  dan  global.    Diversitas  budaya  ini  akan mungkin  tercapai  dalam  pendidikan  jika  pendidikan  itu  sendiri  mengakui  keragaman yang  ada,  bersikap  terbuka  (openess)  dan  memberi  ruang  kepada  setiap  perbedaan  yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam  pelaksanaannya,  Banks,  menjelaskan  lima  dimensi  yang  harus  ada  yaitu, pertama,  adanya  integrasi  pendidikan  dalam  kurikulum  (content  integration) yang didalamnya  melibatkan  keragaman  dalam  satu  kultur  pendidikan  yang  tujuan  utamanya adalah  menghapus  prasangka.  Kedua,  konstruksi  ilmu  pengetahuan  (knowledge construction)  yang  diwujudkan  dengan  mengetahui  dan  memahami  secara  komperhensif keragaman  yang  ada.  Ketiga,  pengurangan  prasangka  (prejudice  reduction)  yang  lahir dari  interaksi  antar  keragaman  dalam  kultur  pendidikan.  Keempat,  pedagogik  kesetaraan manusia  (equity  pedagogy)  yang  memberi  ruang  dan  kesempatan  yang  sama  kepada setiap  elemen  yang  beragam.  Kelima,  pemberdayaan  kebudayaan  sekolah  (empowering school  culture). Hal yang  kelima  ini adalah  tujuan  dari  pendidikan  multikultur yaitu  agar sekolah  menjadi  elemen  pengentas  sosial  (transformasi  sosial)  dari  struktur  masyarakat yang timpang  kepada struktur yang berkeadilan.[2]
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan ajaran formal tentang Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada.
Penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.
 Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama, diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya,  pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Oleh karena itu. pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Hanya pendidikan yang megemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Menurut Gus Dur, sistem pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab sistem pendidikan kita sekarang hanya formal. Orang tidak punya ijazah tidak dipakai, padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi tidak pernah dihargai, paparnya.
Bukti sejarah mengatakan, di tengah pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa dalam menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional, kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan, tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Gus Dur melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen pembaharuan yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas  muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya pendidikan yang megemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
Ismail S. Wekke, dalam Majalah Independensia, edisi Juli 2007.
James A. Banks. “Multicultural  Education: Historical Development, Dimensions,  and Practice” dalam http://badrus-sholeh.blogspot.com/2012/08/pemikiran-pendidikan-kh-abdurahman.html. Di unduh pada Kamis 9 Oktober 2013.
Kamrani Buseri.. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah UII Press, Yogyakarta. . 2003.
kedaulatan-rakyat.com. di akses tanggal 9 Oktober 2013.
Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1