BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
Abdurrahman
Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman
al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu
merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus
Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya
dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur
dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa
tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan
Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban
1940 adalah tanggal 7 September.
Gus Dur adalah
putra pasangan K.H. Wahid
Hasyim dan Ny. Hj.
Sholehah. Ayah Gus Dur termasuk seorang pahlawan Nasional dan pernah menjabat
sebagai menteri Agama tahun 1949. Kakek dari pihak ayah ialah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar
di Indonesia. Sedangkan kakek dari pihak Ibu ialah K.H. Bisri
Syamsuri, pendiri Pondok
Pesantren Denanyar
Jombang dan juga salah seorang tokoh pendiri NU.
Secara
geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut
Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari
garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang
menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu
dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya,
Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU,
karena kedudukannya sebagai ulama kharismatik.
Pada masa
kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia
lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya.
Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak
dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak
kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang
penting tersebut.
Mengenai
riwayat pendidikannya, Abdurrahman Wahid mulai menuntut ilmu :
a.
SD Jakarta 1947-1953.
b.
SMEP
(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957.
c.
Pondok
pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957.
d.
Pondok
pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959.
e.
Pondok
pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras
Jombang, 1959-1963.
f.
Belajar
di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic
Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
g.
Belajar
di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h.
Menjadi
dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng
Jombang., 1972-1974.
i.
Sekretaris
pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j.
Pengasuh
Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979.
Abdurrahman
Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki
kelebihan. Padanya terdapat bidang ilmu pengetahuan Islam dan juga keahlian
dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut
menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam
berbagai aktifitas.
B.
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN K.H. ABDURRAHMAN WAHID
Dalam masyarakat
ditemukan berbagai individu
atau kelompok yang
berasal dari budaya berbeda,
demikian pula dalam
pendidikan, diversitas tersebut
tidak bisa dielakkan. Diversitas
budaya itu bisa
ditemukan di kalangan
peserta didik maupun
para guru yang terlibat
-secara langsung atau
tidak- dalam satu
proses pendidikan. Diversitas itu juga
bisa ditemukan melalui
pengkayaan budaya-budaya lain
yang ada dan berkembang dalam
konstelasi budaya, lokal,
nasional dan global.
Diversitas budaya ini
akan mungkin tercapai dalam
pendidikan jika pendidikan
itu sendiri mengakui
keragaman yang ada, bersikap
terbuka (openess) dan
memberi ruang kepada
setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses
pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks,
menjelaskan lima dimensi
yang harus ada yaitu, pertama, adanya
integrasi pendidikan dalam
kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan
keragaman dalam satu
kultur pendidikan yang
tujuan utamanya adalah menghapus
prasangka. Kedua, konstruksi
ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang
diwujudkan dengan mengetahui
dan memahami secara
komperhensif keragaman
yang ada. Ketiga, pengurangan
prasangka (prejudice reduction) yang
lahir dari interaksi antar
keragaman dalam kultur
pendidikan. Keempat, pedagogik
kesetaraan manusia (equity pedagogy)
yang memberi ruang
dan kesempatan yang
sama kepada setiap elemen
yang beragam. Kelima, pemberdayaan
kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah
tujuan dari pendidikan
multikultur yaitu agar
sekolah menjadi elemen
pengentas sosial (transformasi sosial)
dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.[2]
Dalam sebuah dialog tentang
pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002
yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati
adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam.
Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap
pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan ajaran formal tentang
Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan Islam yang benar memang
terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari
peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada.
Penyelenggaraan pendidikan
Islam di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal
Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui
sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga,
semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya lebih banyak dari
komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.
Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan
hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan
modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup
dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam,
yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja
harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun
kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana.
Hal inilah yg merisaukan hati Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan
jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat
kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam?
Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di
berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan
Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus
ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas,
pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa
pendidikan sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian,
arisan dan sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman ini, yaitu
hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah
air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit
pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya
mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi
non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas
para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak
lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Senada dengan apa yang
disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama,
diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya,
pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan
perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan itu
adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang
keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Oleh karena itu. pendidikan
Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan
berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hanya pendidikan yang megemban tugas ganda
secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki.
Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan
pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan
jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau
perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Menurut Gus Dur, sistem
pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab
sistem pendidikan kita sekarang hanya formal. Orang tidak punya ijazah tidak
dipakai, padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki
kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi
tidak pernah dihargai, paparnya.
Bukti sejarah mengatakan, di
tengah pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan
keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa
dalam menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah
satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat
perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong
utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional,
kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin,
Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi
tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren
yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan,
tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Gus Dur melihat pondok
pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga kultural
yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen pembaharuan
yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development);
sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning);
dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada
silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan
yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar
acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian
Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang
ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks
hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai
ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan
seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci,
dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam
dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin diberbagai
penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan, yang
membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya
dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu
kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di
Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan tentang
Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab,
budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia
Tenggara dan budaya minoritas muslim di
kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's)
ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic
study’s).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur
dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya
terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan
keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang
mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan
aktual.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar
pada modernisasi pesantren. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang
beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri
agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya
pendidikan yang megemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan
kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang
dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat
meredam keinginan-keinginan jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang
untuk melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
Ismail S. Wekke, dalam Majalah Independensia, edisi Juli 2007.
James A. Banks. “Multicultural
Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam http://badrus-sholeh.blogspot.com/2012/08/pemikiran-pendidikan-kh-abdurahman.html. Di unduh pada Kamis 9 Oktober 2013.
Kamrani
Buseri.. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah UII Press, Yogyakarta. .
2003.
kedaulatan-rakyat.com. di
akses tanggal 9 Oktober 2013.
Mustafa
Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet.1